MAKALAH
PROSES
KEPUTUSAN INOVASI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Pembelajaran Fisika
Dosen
Pengampu :
1. Prof. Dr. Sarwi, M.Si.
2. Dr.
Suharto Linuwih, M.Si.
Disusun
oleh :
Fauziah Utrujjah (0403519001)
Adina Widi Astuti (0403519003)
Sudarmin (0403519011)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2020
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
formal dirasakan urgensinya ketika keluarga tidak mampu lagi memberikan
pendidikan yang wajar kepada anak-anaknya. Lembaga ini akhirnya diterima
sebagai wahana proses kemanusiaan dan pemanusiaan kedua setelah keluarga. Dalam
perjalanannya, ternyata tidak ada pendidikan formal yang benar-benar netral.
Ini ditandai dengan adanya praktek pendidikan yang kurang menghargai kebebasan
siswa.
Realitas
dimana lembaga pendidikan formal, mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, hingga pendidikan tinggi mengalami kemajuan pesat secara kuantitatif.
Ditandai dengan peningkatan jumlah lulusan siswa dari tahun ke tahun. Namun,
kita dihadapkan kepada dilema berkaitan dengan masalah kemampuan professional
guru dalam mengelola kelas masih kurang dari harapan.
Guru yang
berperan sebagai innovator sangat jarang atau bahkan sama sekali tidak ada pada
sekolah-sekolah tertentu. Sesungguhnya menjadi innovator sebagai penggagas
kebijakan memang pekerjaan yang berat dan beresiko. Namun tanpa adanya
innovator yang siap menanggung resiko juga akan menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi kemajuan pendidikan kita serta hanya mampu mencetak generasi-generasi
yang statis dalam berfikir dan lamban dalam bertindak. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman tentang proses keputusan inovasi, tahapan-tahapannya serta tipe-tipe
keputusan inovasi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan proses keputusan inovasi?
2. Bagaimanakah tahapan dari proses keputusan inovasi?
3. Apa sajakah tipe-tipe keputusan inovasi?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari proses keputusan inovasi.
2. Memahami
tahapan dari proses keputusan inovasi.
3. Memahami tipe-tipe keputusan inovasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Proses Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi adalah proses yang
dialami oleh individu (unit pengambil keputusan yang lain), mulai dari pertama
tahu adanya inovasi, kemudian dilanjutkan dengan keputusan setuju terhadap
inovasi, penetapan keputusan menerima atau menolak inovasi, implementasi inovasi,
dan konfirmasi terhadap keputusan inovasi yang telah diambilnya (Sa’ud, 2015). Merujuk
kepada pengertian di atas, maka dapatlah dimaknai bahwa proses mengandung arti
bahwa aktivitas itu membutuhkan waktu dan setiap saat tentu terjadi perubahan.
Lamanya waktu yang dipergunakan selama proses itu berbeda antara orang atau
organisasi satu dengan yang lain yang bergantung pada kepekaan orang atau organisasi
terhadap inovasi. Demikian pula selama proses inovasi itu berlangsung akan
selalu terjadi perubahan yang berkesinambungan sampai proses itu dinyatakan
berakhir. Proses keputusan inovasi bukanlah kegiatan yang dapat berlangsung
seketika, tetapi merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung dalam jangka
waktu tertentu, sehingga individu atau organisasi dapat menilai gagasan yang
baru itu sebagai bahan pertimbangan untuk selanjutnya akan menolak atau
menerima inovasi dan menerapkannya.
Menurut Sa’ud (2015) ciri pokok keputusan inovasi
merupakan perbedaannya dengan tipe keputusan yang lain ialah dimulai dengan
adanya ketidaktentuan (uncertainty) tentang sesuatu (inovasi), misalnya
ketika harus mengambil keputusan untuk menghadiri rapat atau melakukan
olahraga, maka kita sudah tahu apa yang akan dilakukan jika menghadiri rapat,
begitu pula apa yang akan dilakukan jika melakukan olaharga. Rapat dan olahraga
bukanlah hal yang baru. Pertimbangan dalam mengambil keputusan mana yang paling
menguntungkan sesuai dengan kondisi saat itu. Keputusan ini bukanlah keputusan inovasi.
Berbeda halnya dengan ketika mengambil keputusan untuk mengganti penggunaan
minyak bumi dengan bahan bakar gas, yang sebelumnya belum pernah menggunakan
atau belum tahu tentang kompor gas, maka keputusan ini adalah keputusan
inovasi. Proses pengambilan keputusan mau tidak mau menggunakan kompor gas,
dimulai dengan adanya serba ketidaktahuan tentang kompor gas, yaitu masih
terbuka berbagai alternatif, mungkin lebih bersih, lebih hemat, lebih tahan lama,
tetapi mungkin juga berbahaya dan sebagainya. Untuk sampai pada keputusan yang
mantap menerima atau menolak kompor gas perlu informasi. Dengan kejelasan informasi
akan mengurangi ketidaktentuan dan berani mengambil keputusan.
B. Tahapan Proses Keputusan Inovasi
Menurut Rogers (2003) ada tahapan-tahapan
proses dalam keputusan inovasi, berikut tahapan-tahpan proses keputusan
inovasi:
1. Tahap Pengetahuan (Knowledge)
Tahapan
pertama proses inovasi dimulai dengan tahapan pengetahuan, yaitu pada tahap ini
seseorang menyadari adanya suatu
inovasi dan ingin tahu bagaimana inovasi tersebut. Menyadari dalam hal ini
bukan memahami melainkan membuka diri untuk mengetahui inovasi. Menyadari atau
membuka diri terhadap inovasi tentu dilakukan secara aktif.
Seseorang
yang menyadari perlunya mengetahui inovasi tentu berdasarkan pengamatannya
tentang inovasi itu sesuai dengan
kebutuhan, minat atau kepercayaannya. Misalnya, pada acara siaran televisi
disebutkan bahwa akan disiarkan tentang metode baru alam mengajarkan berhitung
di sekolah dasar. Guru A yang mendengar dan melihat acaran tersebut menyadari
bahwa ada metode baru tersebut, ia pun mulai proses keputusan inovasi pada
tahap pengetahuan. Adapun guru B walaupun mendengar dan melihat acara TV, tidak
ingin tahu maka belum terjadi proses keputusan inovasi.
Pada
contoh guru A, guru tersebut memiliki keingintahuan mengenai metode baru
berhitung, karena ia memerlukannya. Adanya inovasi menumbuhkan kebutuhan karena
kebetulan ia merasa membutuhkannnya. Sekalipun demikian, mungkin terjadi karena
seseorang membutuhkan sesuatu, untuk memenuhiya, ia mengadakan inovasi. Dalam
kenyataan di masyarakat, hal ini jarang terjadi, karena banyak orang tidak tahu
apa yang diperlukan. Dalam bidang pendidikan, misalnya yang dapat merasakan
perlunya perubahan adalah para pakar pendidikan, sedangkan guru belum tentu
menerima perubahan atau inovasi yang sebenarnya diperlukan untuk mengefektifkan
pelaksanaan tugasnya.
Setelah
menyadari adanya inovasi dan membuka dirinya untuk mengetahui inovasi,
keaktifan untuk memenuhi kebutuhan ingin tahu tentang inovasi itu bukan hanya
berlangsung pada tahap pengetahuan, tetapi juga pada tahap lain, bahkan sampai
pada tahap konfirmasi masih ada keinginan untuk mengetahui aspek-aspek tertentu
dari inovasi.
Berkaitan
dengan pengetahuan tentang inovasi, ada generalisasi prinsip-prinsip umum
tentang pihak-pihak umum tentang pihak-pihak yang lebih awal mengetahui tentang
inovasi :
a.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih tinggi pendidikannya dari yang akhir.
b.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih tinggi status sosial ekonominya dari pada yang
akhir.
c.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap media massa dari pada yang
akhir.
d.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih terbuka terhadap komunikasi interpersonal dari
pada yang akhir.
e.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih banyak dengan agen pembaharu dari pada yang
akhir.
f.
Pihak-pihak yang lebih
awal tahu tentang inovasi lebih kosmopolitan (mempunyai wawasan dan pengetahuan
luas) daripada yang akhir.
2. Tahap Bujukan (Persuation)
Pada
tahap bujukan atau persuasi
dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak
menyenangi terhadap inovasi. Jika pada tahap pengetahuan proses kegiatan mental
yang utama adalah dibidang kognitif, maka pada tahap persuasi, proses kegiatan
mental yang berperan utama adalah bidang afektif atau perasaan.
Pada
tahap bujukan ini yang lebih banyak berperan adalah keaktifan mental, dalam hal
ini seseorang akan berusaha untuk mengetahui lebih banyak tentang inovasi dan
menafsirkan informasi yang diterimanya. Pada tahap ini, berlangsung seleksi
informasi disesuaikan dengan kondisi dan sifat pribadinya. Di sinilah, peranan
karakteristik inovasi dalam mempengaruhi proses keputusan inovasi.
Di
samping itu, pada tahap bujukan ini juga yang berperan penting adalah peran
kemampuan individu atau organisasi untuk mengantisipasi kemungkinan penerapan
inovasi masa mendatang.
Diperlukan kemampuan untuk memproyeksikan penerapan inovasi dalam pemikiran
berdasarkan kondisi dan situasi yang ada. Untuk mempermudah proses mental itu
diperlukan gambaran yang jelas tentang cara pelaksanaan inovasi.
Hasil
tahap bujukan yang utama adalah adanya penentang menyenangi atau tidak
menyenangi inovasi. Diharapkan hasil tahapan bujukan akan mengarahkan proses
keputusan inovasi. Dengan kata lain, ada kecenderungan kesesuaian antara
menyenangi inovasi dengan menerapkan inovasi. Perlu diketahui bahwa sebenarnya
antara sikap dengan aktivitas masih ada jarak. Orang yang menyenangi inovasi
belum tentu menerapkan inovasi. Ada jarak atau kesenjangan antara pengetahuan,
sikap dengan penerapan (praktek), misalnya seorang guru mengetahui metode
diskusi, mengetahi cara menerapkannya, dan senang menggunakan, tetapi tidak
pernah menggunakannya.
Karena faktor tempat duduknya tidak memungkinkan, jumlah siswanya terlalu besar
dan merasa khawatir bahan pelajarannya tidak akan dapat disajikan sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan. Oleh karena itu perlu adanya bantuan pemecahan
masalah.
3. Tahap Keputusan (Decision)
Tahap
keputusan dari proses keputusan inovasi, berlangsung jika seseorang melakukan
kegiatan yang mengarahkan untuk menetapkan menerima atau menolak inovasi.
Menerima berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi tersebut. Seringkali
terjadi seseorang menerima inovasi setelah ia mencoba lebih dahulu, kemudian
dilanjutkan secara keseluruhan jika sudah terbukti berhasil sesuai dengan yang
diharapkan.
Inovasi
yang dapat dicoba bagian demi bagian akan lebih cepat diterima, akan tetapi
tidak semua inovasi dapat dicoba dengan dipecahkan menjadi beberapa bagian.
Dalam kenyatannya, pada setiap tahap dalam proses keputusan inovasi dapat
terjadi penolakan inovasi, misalnya penolakan dapat terjadi pada awal tahap
pengetahuan, tahap bujukan, atau setelah konfirmasi dan sebagainya.
Terdapat
dua macam penolakan inovasi yaitu:
a.
Penolakan aktif artinya
penolakan inovasi setelah mempertimbangkan untuk menerima inovasi atau mencoba lebih dahulu,
tetapi keputusan akhir menolak inovasi.
b.
Penolakan pasif artinya
penolakan inovasi tanpa pertimbangan.
4. Tahap Implementasi (Implementation)
Tahap
implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan
inovasi. Pada tahap implementasi ini berlangsung keaktifan baik mental maupun
perbuatan. Keputusan penerimaan gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktik.
Pada umumnya implementasi tentunya mengikuti hasil keputusan inovasi, tetapi
dapat juga terjadi karena sesuatu hal, sesudah memutuskan menerima inovasi
tersebut namun tidak diikuti implementasinya. Biasanya hal ini terjadi karena
fasilitas penerapannya tidak tersedia.
Tahapan implementasi berlangsung dalam waktu
yang sangat lama, bergantung pada keadaan inovasi. Suatu tanda bahwa tahap
implementasi inovasi berakhir jika penerapan inovasi sudah melembaga dan
menjadi hal-hal yang bersifat rutin atau merupakan hal yang baru lagi.
5. Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Pada
tahap konfirmasi ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah
di ambilnya dan orang tersebut dapat menarik kesimpulan kembali keputusannya
jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula.
Tahap konfirmasi sebenarnya berlangsung secara berkelanjutan sejak terjadi
keputusan menerima atau menolak inovasi yang berlangsung dalam waktu yang tidak
terbatas. Selama dalam konfirmasi, seseorang berusaha menghindari terjadi
disonansi, paling tidak berusaha menguranginya.
Terjadinya perubahan tingkah laku antara lain
disebabkan terjadinya ketidakseimbangan internal. Orang itu merasa dalam
dirinya ada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak selaras yang disebut
disonansi, sehingga orang tersebut merasa tidak enak. Jika merasa dalam dirinya
terjadi disonansi, maka ia akan berusaha menghilangkannya atau menguranginya
dengan cara mengubah pengetahuan, sikap atau perbuatannya. Usaha untuk mengurangi
disonansi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.
Apabila seseorang
menyadari suatu kebutuhan dan berusaha mencari sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan, misalnya dengan mencari informasi tentang inovasi. Hal ini terjadi
pada tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi.
b.
Apabila seseorang tahu
tentang inovasi dan telah bersikap menyenangi inovasi tersebut, tetapi belum
menetapkan keputusan untuk menerima inovasi maka ia berusaha untuk menerimanya,
untuk mengurangi adanya disonansi antara yang disenangi dan diyakini dengan
yang dilakukan. Hal ini terjadi pada tahap keputusan inovasi dan tahap
implementasi dalam proses keputusan inovasi.
c.
Setelah menetapkan untuk
menerima dan menerapkan inovasi, kemudian diajak untuk menolaknya, disonansi
ini dapat dikurangi dengan cara tidak melanjutkan penerimaan dan penerapan
inovasi. Ada kemungkinan juga seseorang yang telah menetapkan untuk menolak
inovasi, kemudian diajak untuk menerimanya maka usaha mengurangi disonansi
dengan cara menerima inovasi (mengubah keputusan semula). Perubahan ini terjadi
(tidak meneruskan inovasi atau mengikuti inovasi terlambat) pada tahap
konfirmasi dari proses keputusan inovasi.
Ketiga
cara mengurangi disonansi tersebut, berkaitan dengan perubahan tingkah laku
seseorang sehingga antara sikap, perasaan, pikiran, perbuatan sangat erat
hubungannya, bahkan sulit dipisahkan karena yang satu mempengaruhi yang lain.
Itulah sebabnya, dalam kenyataan kadang-kadang sukar untuk mengubah keputusan
yang sudah terlanjur mapan dan disenangi , walaupun secara rasional diketahui
ada kelemahannya. Karena sering terjadi untuk menghindari timbulnya disonansi,
itu hanya berubah mencari informasi yang dapat memperkuat keputusannya. Dengan
kata lain, orang itu melakukan seleksi informasi dalam tahap konfirmasi.
C. Tipe-Tipe
Keputusan Inovasi
Tipe keputusan inovasi dapat dibedakan
atas beberapa tipe keputusan inovasi, di mana tipe-tipe itu terkait dengan
dapat diterima atau tidaknya suatu inovasi oleh individu sebagai anggota sistem
sosial atau keseluruhan anggota sistem sosial yang menentukan untuk menerima
inovasi berdasarkan keputusan bersama atau berdasarkan paksaan (kekuasaan).
Setidaknya terdapat 4 (empat) tipe keputusan inovasi menurut Rusdiana (2014)
yaitu:
1. Keputusan
Inovasi Opsional
Keputusan
inovasi individual adalah suatu keputusan inovasi ketika seseorang mengambil
peran dalam membuat suatu keputusan untuk melakukan inovasi setelah melalui
proses pertimbangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Keputusan seseorang
untuk menerima atau menolak inovasi merupakan suatu rentetan tindakan yang
membentuk rangkaian proses yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Keputusan
inovasi optional muncul karena adanya rangsangan pada diri seseorang untuk
melakukan sesuatu agar dapat mengatasi masalah yang dihadapinya. Motivasi untuk
mengatasi masalah mungkin tidak muncul dari luar. Namun, pihak luar dapat
berfungsi sebagai pemicu munculnya motivasi dalam dirinya (seperti teori
belajar sosialnya Bandura). Tipe keputusan inovasi optional mungkin tidak akan
menyebar dengan cepat apabila tanpa didukung anggota komunitas yang ada di
sekitarnya, terutama anggota komunitas (sistem sosial) tidak melihat inovasi
itu sebagai suatu kebutuhan bersama.
Proses
Keputusan Inovasi Opsional
Keputusan seseorang untuk
menerima atau menolak inovasi bukanlah tindakan yang sekali jadi, melainkan
lebih menyerupai suatu proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam
jangka waktu tertentu. Keputusan difusi inovasi opsional terdiri atas 4 tahap,
yaitu:
a. Tahap
Pengenalan
Tahap
pengenalan bermula ketika seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh
beberapa pengertian mengenai bagaimana inovasi itu berfungsi. Banyak peneliti
yang menyatakan bahwa kesadaran pengetahuan itu sebagai peristiwa yang tak
disengaja oleh seseorang. Umumnya seseorang membuka diri terhadap ide-ide yang
sesuai dengan minat, kebutuhan dan sikap yang apa adanya. Sadar atau tidak
biasanya kita menghindari pesan-pesan yang bertentangan dengan predisposisi
pribadi. Kecenderungan seperti ini disebut selective
exposure. Hessinger menyatakan bahwa jarang sekali seseorang membuka diri
terhadap pesan-pesan inovasi jika mereka belum membutuhkan inovasi itu (selective perpection).
b. Tahap
Persuasi
Pada
tahap persuasi, seseorang membentuk sikap berkenaan atau tidak terhadap
inovasi. Jika aktivitas menetap
pada tahap pengenalan terutama adalah berlangsungnya fungsi kognitif, aktivitas
mental pada tahap persuasi yaitu utama afektif (perasaan). Sebelumnya seseorang
mengenal suatu ide baru, ia tidak dapat membentuk sikap tertentu terhadapnya.
Pada tahap persuasi seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi.
Sekarang dengan giat ia mencari keterangan mengenai ide baru itu.
Dengan
demikian selective perpection penting
dalam menentuka perilaku komunikasi pada tahap penentuan sikap. Pada tahap
persuasi inilah persepsi umum terhadap inovasi dibentuk. Ciri-ciri difusi
inovasi yang tampak misalnya keuntungan relative, kompatibilitas dan kerumitan
atau kesederhanaannya sangat penting artinya pada tahap ini. Dalam tahap ini ada dua
tingkatan sikap yaitu sikap khusus dan sikap umum. Sikap khsusus terhadap
difusi inovasi adalah berkenaan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya
seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap terhadap
inovasi pada umumnya (tapi tidak selalu) merupakan prediksi bagi keputusan
untuk menerima atau menolak.
c. Tahap
Keputusan
Pada
tahap keputusan seseorang terpilih dalam kegiatan yang mengarah pada pemilihan
untuk menerima atau menolak inovasi. Keputusan ini meliputi keputusan
pertimbangan lebih lanjut apakah ia akan mencoba inovasi atau tidak. Sebagian
besar orang tidak menerima suatu inovasi tanpa mencobanya terlebih dahulu
sebagai dasar untuk melihat kemungkinan kegunaan inovasi itu bagi situasi
dirinya sendiri. Percobaan dalam skala kecil ini sering kali menjadi bagian
dari keputusan untuk menerima, dan ini penting sebagai jalan untuk mengurangi
resiko difusi inovasi. Dalam beberapa kasus, difusi inovasi itu tidak dapat
dicoba, biasanya seseorang hanya dapat melihat contoh melalui teman-teman yang
sudah lebih dulu menggunakan sebagai “percobaan” pengganti. Inovasi yang dapat
dicoba penggunaannya dalam skala kecil biasanya lebih cepat diterima.
Seringkali orang yang mencoba inovasi berlanjut dengan keputusan untuk
mengadopsi, jika inovasi itu setidak-tidaknya mempunyai keuntungan relative
tertentu.
d. Tahap
Konfirmasi
Tahap
konfirmasi berlangsung setelah ada keputusan untuk menerima atau menolak selama
jangka waktu yang tak terbatas. Pada tahap ini seseorang berusaha untuk
menghindari kenyataan yang menyimpang, yang bertentangan dengan keputusannya,
jika hal itu terjadi, ia berusaha memperkecil ketaksesuaian itu.
(i)
Dissonansi Tindakan
Jika
seseorang merasakan adanya ketakselarasan ini, biasanya ia terdorong untuk
mengurangi keadaan ini dengan jalan mengubah pengetahuan, sikap atau
tindakan-tindakannya.
(ii)
Diskontinuansi
Diskontinuansi
adalah keputusan seseorang untuk menghentikan penggunaan inovasi setelah
sebelumnya mengadopsi. Ada dua macam diskontinuansi; diskontinuansi karena
mengganti inovasi, dan diskontinuansi karena kecewa. Macam yang pertama adalah
keputusan untuk menghentikan penggunaan suatu inovasi karena ia menerima ide
baru yang lebih baik.
Diskontinuansi
macam yang kedua adalah keputusan untuk mogok sebagai akibat dari ketidakpuasan
terhadap hasil inovasi. Ketidakpuasan itu mungkin timbul karena inovasi
tersebut tidak cocok baginya atau relative tidak memberikan keuntungan. Tipe keputusan ini mempunyai
banyak kelebihan yaitu:
a. Pilihan
terhadap inovasi tertentu memang berasal dari individu yang bersangkutan
sehingga dari segi kebutuhan lebih jelas kesesuaiannya. Pilihannya itu memang
menggambarkan kondisi realitas sosial di tingkat lapisan terkecil dari
masyarakat.
b. Biasanya
partisipasi dalam menerapkan inovasi lebih besar jika memang sesuai dengan
keinginan atau kebutuhan masyarakat.
c. Keberhasilan
dari inovasi dengan tipe keputusan ini kemungkinan lebih besar peluangnya.
2. Keputusan
Inovasi Kolektif
Keputusan
inovasi kolektif adalah keputusan inovasi yang dilakukan berdasarkan sesuatu
kesepakatan kolektif dalam suatu komunitas atau organisasi. Inovasi akan jauh
lebih cepat tersebar partisipasinya jika keputusan dilakukan berdasarkan
kepentingan bersama kelompok tersebut. Penyebaran inovasi ke dalam suatu sistem
sosial yang melibatkan seluruh anggota sistem biasanya dilakukan secara
sukarela.
Apabila
peserta yang terlibat cukup banyak, proses pengambilan keputusan biasanya
berjalan sangat lambat, tergantung secara relatif pada jumlah individu,
kecepatan proses komunikasi, tingkat kesenjangan atau kesesuaian persepsi,
peluang terjadinya distorsi, keefektifan jaringan komunikasi, sistem strata
sosial, dan lain-lain. Tipe
keputusan kolektif lebih rumit prosesnya dibandingkan dengan tipe keputusan
opsional. Pada tipe keputusan kolektif, peran seseorang sebagai fasilitator
menjadi penting untuk dapat memfasilitasi proses pembuatan keputusan. Tanpa
fasilitator, koordinasi pengambilan keputusan yang diambil akan sulit.
Proses
Keputusan Inovasi Kolektif
Paradigma tentang tahapan pengambilan
keputusan tipe kolektif sekaligus menyertakan pihak-pihak yang berperan dalam
setiap tahapan dapat dilihat pada Gambar 1. Tahap stimulasi merupakan
tahapan ketika anggota sistem sosial dirangsang atau didorong minatnya ke arah
kebutuhan akan ide-ide baru untuk mengatasi permasalahan yang ada. Peranan yang
sangat penting pada tahap ini terletak pada stimulator. Stimulator berfungsi
sebagai seseorang yang menstimulasi anggota sistem sosial bahwa mereka
membutuhkan ide-
ide
baru. Stimulator tersebut dapat berasal dari anggota sistem sosial, dari luar
sistem sosial, atau dari stimulator tak langsung (dalam media komunikasi).
Gambar
1. Paradigma Proses Pembuatan Keputusan Inovasi Kolektif
Tahap
inisiasi merupakan tahapan ketika ide-ide baru diperkenalkan dalam suatu sistem
sosial. Pada tahap ini, inisiator berperan sebagai seseorang yang membawa
informasi ke dalam sistem sosial dan mulai memperkenalkan ide-ide baru. Dalam
suatu organisasi, biasanya dilakukan oleh konsultan ataupun anggota dari
organisasi yang dapat berperan sebagai inisiator.
Tahap
legitimasi merupakan tahapan ketika ide-ide baru dianggap sesuai dengan apa
yang dibutuhkan oleh seluruh anggota komunitas. Proses pengesahan akan perlunya
ide-ide baru tersebut dilakukan oleh legitimator. Legitimator ini biasanya
seseorang yang sangat berpengaruh, kredibel, atau memiliki kekuasaan.
Legitimator ini biasanya berasal dari anggota komunitas itu sendiri.
Tahap
keputusan merupakan suatu tahapan ketika pada saat ini seluruh komunitas harus
mengambil suatu konsensus, menolak, atau menerima ideide baru. Pada tahap ini,
seluruh anggota sistem sosial memiliki hak untuk menyampaikan sikapnya sehingga
dalam tahap pengambilan keputusan ini seluruh anggota sistem sosial ikut
berperan.
Tahap
tindakan atau pelaksanaan merupakan suatu tahapan ketika ideide baru yang telah
dilegitimasi dan diputuskan dilaksanakan oleh seluruh anggota sistem sosial
(baik ide-ide baru yang diterima maupun yang ditolak). Sekilas paradigma proses
pembuatan keputusan inovasi kolektif mirip dengan tahap pembuatan keputusan
opsional yang telah dijelaskan di depan. Namun, perbedaan yang sangat mencolok
bahwa pengambilan keputusan pada tipe keputusan inovasi kolektif ada pada level
anggota sistem sosial, komunitas, atau organisasi, sedangkan pada tipe
keputusan inovasi opsional berada pada masing-masing individu.
3. Keputusan
Inovasi Otoritas
Tipe
keputusan inovasi otoritas merupakan suatu keputusan inovasi yang dilakukan
oleh suatu organisasi formal (Ananda, 2017).
Organisasi formal yang dimaksud, misalnya pemerintah daerah/pusat, perusahaan,
sekolah, dan sebagainya. Keputusan inovasi otoritas ini sangat menarik karena
berkaitan dengan hubungan antara suatu organisasi formal dengan stafnya,
masyarakat, dan anggota sistem sosial (individu).
Tipe
keputusan inovasi ini sifatnya lebih pada suatu usaha penekanan/pemaksaan
kehendak dari seseorang yang memiliki kekuasaan (atasan) kepada bawahan untuk
menerima ide-ide baru. Dalam hal ini, pihak yang memiliki otoritas beranggapan
bahwa ide-ide baru yang diperkenalkan merupakan satu-satunya inovasi yang dapat
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh organisasi/masyarakat. Jadi,
dalam hal ini, jika suatu inovasi telah diputuskan untuk diterima, secara
sistematis seluruh bagian organisasi atau masyarakat harus menerima dan
mendukungnya.
Dalam
proses keputusan otoritas ini, setidaknya ada dua macam unit yang terlibat
dalam proses keputusan. Pertama, unit pengambil keputusan yang terdiri atas
seseorang atau sekelompok orang yang menduduki posisi strata sosial yang lebih
tinggi yang membuat keputusan akhir, apakah inovasi itu diterima atau ditolak.
Kedua, unit adopsi, yaitu seseorang, kelompok, atau unit yang menerima akibat
dari keputusan yang dilakukan oleh pihak otoritas.
Ciri-Ciri
Keputusan Inovasi Otoritas
Ciri-ciri yang membedakan
keputusan otoritas dengan bentuk keputusan lainnya:
a.
Individu tidak bebas
menentukan pilihan dalam menolak atau menerima inovasi;
b.
Pembuatan keputusan dan
pengadopsiannya dilakukan oleh orang atau unit yang berbeda;
c.
Unit pengambil keputusan
menduduki posisi kekuasaan dan lebih tinggi dalam sistem sosial daripada unit
adopsi;
d.
Unit pengambil keputusan
dapat memaksa unit adopsi untuk menyesuaikan diri dengan keputusan;
e.
Keputusan inovasi
otoritas lebih sering terjadi dalam organisasi formal.
Proses
Keputusan Inovasi Otoritas
Rogers dan
Shoemaker lebih lanjut menjelaskan paradigma tahap-tahap proses keputusan
inovasi otoritas sebagai berikut:
Gambar 2. Paradigma yang Menunjukkan
Tahapan dalam Proses
Keputusan Inovasi Otoritas
Tahap
pengenalan adalah tahap yang paling besar peranannya dalam proses keputusan
otoritas. Pada tahap ini, unit pengambil keputusan baru mulai mengenal adanya
suatu inovasi yang mungkin dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang
ada dalam suatu organisasi. Kemudian, pihak otoritas menginformasikan ke
bawahannya suatu proses pengenalan inovasi dari atas ke bawah. Anggota
organisasi yang berstatus rendah dapat saja memberikan tanggapan apabila arus
komunikasi organisasi dengan atasan berjalan dengan baik walaupun bermuatan
informasi yang mungkin negatif (kritik dari bawahan). Sering kali arus
informasi dari bawahan yang berupa kritikan tidak berjalan semestinya (komunikasi
tidak efektif) dan kritikan
dari bawahan dipandang sebagai ancaman terhadap kekuasaan yang lebih tinggi.
Mungkin juga bawahan mencoba melindungi posisi mereka atau diri sendiri dalam
struktur jabatan organisasinya sehingga ia perlu menyaring informasi dari bawah
ke atas.
Tahap
persuasi adalah tahap ketika unit pengambil keputusan mulai melakukan
penelitian tentang inovasi berdasarkan kebutuhan organisasi. Pada tahap ini,
pencarian informasi lebih sistematis dan terencana, termasuk berkaitan dengan
variabel-variabel biaya, kelayakan, kemungkinan pelaksanaan, dan sebagainya.
Pada tahap ini, organisasi melakukan suatu pengujian terhadap hipotesis
(inovasi).
Tahap
keputusan adalah tahap ketika unit pengambil keputusan mencari informasi lebih
banyak mengenai inovasi yang akan dilakukan dan menilainya berdasarkan
kemanfaatan, kelayakan, dan konsekuensi yang mungkin diterima. Pada tahap ini,
unit pengambil keputusan akan menetapkan apakah menerima atau menolak inovasi.
Penerimaan keputusan inovasi otoritas oleh bawahan sangat tergantung pada
partisipasinya dalam pembuatan keputusan.
Tahap
komunikasi adalah tahap ketika unit pengambil keputusan menginformasikan
kebijakan-kebijakan organisasi kepada bawahan. Tahap komunikasi ini merupakan
tahap yang sangat menentukan suatu penerimaan adopsi atau penolakan adopsi
suatu inovasi dapat dilaksanakan atau tidak. Pengalaman menunjukkan bahwa
komunikasi dari atasan kepada bawahan jauh lebih lancar dibandingkan komunikasi
dari bawahan ke atasan sehingga kadang kala pihak atasan tidak mengetahui
apakah keputusan inovasi dapat dikomunikasikan dengan baik ke bawahan. Selain
itu, struktur hierarkis dalam suatu organisasi yang terlalu panjang dapat
menyebabkan terjadinya distorsi pesan sehingga informasi dari atasan tidak sempurna
diterima oleh bawahan.
Tahap
tindakan adalah tahap ketika inovasi mulai dilaksanakan oleh unit-unit adopsi.
Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap akhir dari suatu proses inovasi
otoritas. Pada tahap inilah, konsekuensi dari inovasi itu mulai tampak, baik
konsekuensi yang menyenangkan maupun yang mengecewakan.
4. Keputusan
Inovasi Kontigensi
Keputusan
inovasi kontigensi yaitu pemilihan menerima atau menolak suatu inovasi dapat
dilakukan setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya. Misalnya, di sebuah
perguruan tinggi, seorang dosen tidak mungkin untuk memutuskan secara opsional
untuk memakai komputer sebelum didahului keputusan oleh pimpinan fakultasnya
untuk melengkapi peralatan di fakultas dengan komputer. Jadi, ciri pokok dari
keputusan inovasi kontingen adalah digunakannya dua atau lebih keputusan
inovasi secara bergantian untuk menangani suatu difusi inovasi, baik keputusan
opsional, kolektif, maupun otoritas.
Keputusan
inovasi kontigensi dipengaruhi oleh sistem sosial yang terlibat secara langsung
dalam proses keputusan inovasi kolektif, otoritas, dan kontingen, serta mungkin
tidak secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi opsional.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Proses keputusan inovasi
merupakan proses yang dialami oleh individu (unit
pengambil keputusan yang lain), mulai dari pertama tahu adanya inovasi,
kemudian dilanjutkan dengan keputusan setuju terhadap inovasi, penetapan
keputusan menerima atau menolak inovasi, implementasi inovasi, dan konfirmasi
terhadap keputusan inovasi yang telah diambilnya.
2.
Tahapan-tahapan
dari proses keputusan inovasi yaitu:
a.
Tahap
pengetahuan, yaitu pada tahap ini seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ingin tahu
bagaimana inovasi tersebut.
b.
Tahap
bujukan atau persuasi
dari proses keputusan inovasi, seseorang membentuk sikap menyenangi atau tidak
menyenangi terhadap inovasi.
c.
Tahap keputusan,
berlangsung jika seseorang melakukan kegiatan yang mengarahkan untuk menetapkan
menerima atau menolak inovasi.
d.
Tahap
implementasi berakhir jika penerapan inovasi sudah melembaga dan menjadi
hal-hal yang bersifat rutin atau merupakan hal yang baru lagi.
e.
Tahap
konfirmasi, seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah di
ambilnya dan orang tersebut dapat menarik kesimpulan kembali keputusannya jika
memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula.
3.
Tipe-tipe
keputusan inovasi, diantaranya:
a.
Keputusan inovasi opsional yaitu keputusan seseorang
untuk menerima atau menolak inovasi bukanlah tindakan yang sekali jadi,
melainkan lebih menyerupai suatu proses yang terdiri dari serangkaian tindakan
dalam jangka waktu tertentu.
b.
Keputusan inovasi
kolektif adalah keputusan inovasi yang dilakukan berdasarkan sesuatu
kesepakatan kolektif dalam suatu komunitas atau organisasi.
c.
Keputusan
inovasi otoritas sifatnya lebih pada suatu
usaha penekanan/pemaksaan kehendak dari seseorang yang memiliki kekuasaan
(atasan) kepada bawahan untuk menerima ide-ide baru.
d.
Keputusan inovasi
kontigensi yaitu pemilihan menerima atau menolak suatu inovasi dapat dilakukan
setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, Rusydi dll. 2017. Inovasi Pendidikan Melejitkan Potensi Teknologi dan Inovasi Pendidikan.
Medan: Widya Puspita.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovation.
New York: The Free Press.
Rusdiana, A. 2014. Konsep Inovasi
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Saud, Udin. S. 2015. Inovasi Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.