(Teori belajar John B. Watson, Ivan P. Pavlov, dan Burrhus Frederic Skinner)
I.
PENDAHULUAN
Pembelajaran menurut UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 1 Ayat 20 merupakan proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Tujuan pembelajaran pada hakikatnya yaitu
diperolehnya perubahan perilaku individu. Perubahan tersebut adalah akibat dari perbuatan
belajar.[1] Perubahan
yang dimaksud yaitu perubahan menuju ke perbuatan yang positif. Perubahan-perubahan positif tertuang dalam suatu
proses yang dikenal sebagai proses pembelajaran. Berhasil
tidaknya proses pembelajaran dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah
satunya yaitu motivasi belajar.
Motivasi
tidak hanya penting karena menjadi faktor penyebab belajar, namun juga
berpengaruh dalam meningkatkan intensitas belajar dan meningkatkan hasil
belajar. Padahal dalam suatu kelas masing-masing peserta didik memiliki
motivasi belajar yang berbeda. Hal seperti ini merupakan salah satu peran
pendidik untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, yang dapat dilakukan
dengan pembelajaran yang menarik, memerhatikan peserta didik, interaktif dan
kreatif maka akan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.[2]
Penelitian
Muhammad Imam Bustanul Arifin yang berjudul “Pengaruh Penerapan Teori
Belajar Behavioristik dan Prinsip-Prinsip Pembelajaran terhadap Motivasi
Belajar Peserta Didik SMP Al-Islam Gunungpati Semarang” memaparkan bahwa
terdapat pengaruh positif yang signifikan antara penerapan teori belajar
behavioristik terhadap motivasi belajar siswa. Adapun besaran pengaruh penerapan
teori belajar behavioristik terhadap motivasi belajar adalah sebesar 34,5%.
Teori belajar behavioristik menekankan pada pemberian stimulus dari pendidik
untuk menimbulkan respon belajar. Pemberian stimulus-stimulus dari pendidik
tersebut akan menimbulkan berbagai bentuk respon belajar yang salah satunya
adalah dalam bentuk motivasi siswa ketika mengikuti pembelajaran.[3]
Berdasarkan
uraian di atas, maka makalah ini menjelaskan beberapa teori belajar
behavioristik. Teori belajar tersebut meliputi: teori belajar Watson, Ivan
Pavlov, dan B. F. Skinner.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
penjelasan tentang teori belajar menurut John B. Watson?
B. Bagaimana
penjelasan tentang teori belajar menurut Ivan P. Pavlov?
C. Bagaimana
penjelasan tentang teori belajar menurut B. F. Skinner?
D. Bagaimanakah
penerapan teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran?
III. PEMBAHASAN
A. Teori belajar menurut John
B. Watson
Behavioristik adalah sebuah aliran dalam pemahaman
tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878-1958), seorang
ahli psikologi Amerika pada tahun 1930, sebagai reaksi atas teori
psikodinamika. Perspektif behavioristik berfokus pada peran dari belajar dan
menjelaskan tingkah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut
teori ini bahwa tingkah laku sepenuhnya
ditentukan oleh aturan-aturan yang diramalkan dan dikendalikan. Menurut Watson
dan para ahli lainnya meyakini bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari
pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau situasional. Tingkah laku
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional. Hal ini didasari dari
hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi tingkah laku.[4]
Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya
dikontrol oleh faktor- faktor berasal dari luar. Salah satu faktor tersebut yaitu
faktor lingkungan yang menjadi penentu dari tingkah laku manusia. Berdasarkan
pemahaman ini, kepribadian individu dapat dikembalikan kepada hubungan antara
individu dan lingkungannya. Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian
individu semata-mata bergantung pada lingkungan. Menurut teori ini, orang
terlibat di dalam tingkah laku karena telah mempelajarinya melalui
pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan
hadiah-hadiah. Orang menghentikan tingkah laku, karena belum diberi hadiah atau
telah mendapatkan hukuman. Semua tingkah laku, baik bermanfaat atau merusak
merupakan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia.[5]
Menurut Watson, belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respons, stimulus dan respons yang dimaksud harus dapat
diamati dan dapat diukur. Oleh sebab itu seseorang mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri selama proses belajar. Seseorang
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan diukur. Watson
berasumsi bahwa hanya dengan cara demikianlah akan dapat diramalkan
perubahan-perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan tindakan belajar.[6]
Penelitian
Achmad Pandu
Setiawan yang
berjudul “Aplikasi Teori Behavioristik dan Konstruktifistik
dalam Kegiatan Pembelajaran di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto”,
memaparkan pemahaman tentang pentingnya teori belajar behaviourisme yang dikolaborasikan
dengan teori belajar kognitif untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang
cocok dan efektif. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang
dosen menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari peserta didik dan juga
memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan
bahan memungkinkan seorang dosen mengerti macam-macam jalan dan model untuk
sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model. Kedua
modal ini tidak dapat dipisahkan karena beberapa unsur saling melengkapi.
B.
Teori
belajar menurut Ivan P. Pavlov
Paradigma kondisioning klasik merupakan karya besar
Ivan P. Pavlov (1849-1936), ilmuan Rusia yang mengembangkan teori perilaku
melalui percobaan tentang anjing dan air liurnya. Proses yang ditemukan oleh
Pavlov, karena perangsang yang asli dan netral atau rangsangan biasanya secara
berulang-ulang dipasangkan dengan unsur penguat yang menyebabkan suatu reaksi.
Perangsang netral disebut perangsang bersyarat atau terkondisionir, yang
disingkat dengan CS (conditioned stimulus). Penguatnya adalah perangsang
tidak bersyarat atau US (unconditioned stimulus). Reaksi alami atau
reaksi yang tidak dipelajari disebut reaksi bersyarat atau CR (conditioned
response). Pavlov mengaplikasikan istilah-istilah tersebut sebagai suatu
penguat. Maksudnya setiap agen seperti makanan, yang mengurangi sebagaian
dari suatu kebutuhan. Dengan demikian
dari mulut anjing akan keluar air liur (UR) sebagai reaksi terhadap makanan
(US). Apabila suatu rangsangan netral, seperti sebuah bel atau genta (CS)
dibunyikan bersamaan dengan waktu penyajian maka peristiwa ini akan memunculkan
air liur (CR).[7]
Melalui paradigma kondisioning klasiknya, Pavlov
memperlihatkan anjing dapat dilatih mengeluarkan air liur bukan terhadap
rangsang semula (makanan), melainkan terhadap rangsang bunyi. Hal ini terjadi
pada waktu memperlihatkan makanan kepada anjing sebagai rangsang yang
menimbulkan air liur, dilanjutkan dengan membunyikan lonceng atau bel
berkali-kali, akhirnya anjing akan mengeluarkan air liur apabila mendengar
bunyi lonceng atau bel, walaupun makanan tidak diperlihatkan atau diberikan.
Disini terlihat bahwa rangsang makanan telah berpindah ke rangsang bunyi untuk
memperlihatkan jawaban yang sama, yakni pengeluaran air liur. Paradigma
kondioning klasik ini menjadi paradigma bermacam- macam pembentukan tingkah
laku yang merupakan rangkaian dari satu kepada yang lain. Kondisoning klasik
ini berhubungan pula dengan susunan syaraf tak sadar serta otot-ototnya. Dengan
demikian emosional merupakan sesuatu yang terbentuk melalui kondisioning klasik.[8]
Teori belajar pengkondisian klasik merujuk pada
sejumlah prosedur pelatihan karena satu stimulus dan rangsangan muncul untuk
menggantikan stimulus lainnya dalam mengembangkan suatu respon. Prosedur ini
disebut klasik karena prioritas historisnya seperti dikembangkan Pavlov. Kata clasical
yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov
yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pengkondisian)
dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya.
Perasaan orang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon
perlu adanya suatu stimulus tertentu, sedangkan mengenai penguat menurut pavlov
bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai
hubungan dengan penguatan. Stimulus itu yang menyebabkan adanya pengulangan
tingkah laku dan berfungsi sebagai penguat.[9]
Penelitian
Dave Peel yang berjudul “The significance of behavioural learning theory to
the development of effective coaching practice”, memaparkan pemahaman
tentang pentingnya teori belajar behaviourisme pada praktik pelatihan dengan
penggunaan pemodelan perilaku (efektifitas pribadi dan motivasi). Selain itu
juga menggabungkan visualisasi untuk mengubah keadaan mental dan perilaku yang
merupakan teknik yang menggunakan rangsangan dan penguatan. Banyak pelatih yang
menggunakan teknik ini secara teratur sebagai bagian dari pelatihannya, karena
sangat membantu pelatih mengatasi hambatan belajar, memberikan kesempatan untuk
mengidentifikasi, membantu individu untuk mengubah nilai mereka. Hal ini
memiliki dampak yang lebih besar pada perilaku daripada mengubah tingkat
keterampilan saja.
C.
Teori belajar menurut Burrhus Frederic Skinner
Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)
adalah seorang psikolog dari Harvard
yang telah berjasa mengembangkan
teori perilaku Watson. Menurut
Skinner, perkembangan adalah perilaku.[10]
Oleh karena itu para behavioris yakin bahwa perkembangan dipelajari dan sering
berubah sesuai dengan pengalaman-penglaman
lingkungan. Skinner mengembangkan teori pengkondisian operan (conditioning)
dengan menggunakan tikus sebagai percobaan. Untuk mendemontrasikan
pengkondisian operan di laboratorium, Skinner meletakkan seekor tikus yang
lapar dalam sebuah kotak, yang disebut kotak Skinner. Di dalam kotak tersebut,
tikus dibiarkan melakukan aktivitas, berjalan dan menjelajahi keadaan sekitar.
Dalam aktivitas itu, tikus tanpa sengaja menyentuh suatu tuas dan menyebabkan
keluarnya makanan. Tikus akan melakukan lagi aktivitas yang sama untuk
memperoleh makanan, yakni dengan menekan tuas. Semakin lama semakin sedikit aktivitas
yang dilakukan untuk menyentuh tuas dan memperoleh makanan. Disini tikus
mempelajari hubungan antara tuas dan makanan. Hubungan ini akan terbentuk
apabila makanan tetap merupakan hadiah bagi kegiatan yang dilakukan tikus.[11]
Menurut Skinner, suatu respons
sesungguhnya juga menghasilkan sejumlah konsekuensi yang nantinya akan
mempengaruhi tingkah laku manusia. Untuk memahami tingkah laku peserta didik
secara tuntas menurut Skinner perlu memahami hubungan antara satu stimulus
dengan stimulus lainnya, memahami respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi
yang diakibatkan oleh respons tersebut.[12]
Menurut Skinner, pengkondisian operan terdiri dari 2 konsep utama, yaitu:[13]
1. Penguatan (Reinforcement)
a. Penguatan positif (positive
reinforcement) yaitu apa saja stimulus yang dapat meningkatkan sesuatu
tingkah laku. Penguatan ini dapat berupa benda, penguatan sosial (pujian,
sanjungan) atau token (seperti nilai ujian). Contohnya ketika seseorang siswa
yang mencapai prestasi tinggi diberikan hadiah maka dia akan mengulangi
prestasi itu dengan harapan dapat hadiah lagi.
b. Penguatan negatif (negative
reinforcement) yaitu apa saja stimulus yang menyakitkan atau yang
menimbulkan kekadaan tidak menyenangkan atau tidak mengenakan perasaan sehingga
dapat mengurangi terjadinya sesuatu tingkah laku. Contohnya ketika seorang
siswa akan meninggalkan kebiasaan terlambat mengumpulkan tugas karena tidak
tahan selalu dicemooh oleh gurunya.
2. Hukuman (punishment) yaitu
apa saja stimulus yang menyebabkan sesuatu respon atau tingkah laku menjadi
berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Contohnya ketika
seorang siswa yang tidak mengerjakan PR tidak diperbolehkan bermain bersama
teman-temannya saat jam istirahat.
Konsep-konsep dikemukanan Skinner
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Skinner
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, tetapi lebih komprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku yang tidak
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respons
yang diterima seseorang tidak sesederhana demikian, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus tersebut
yang mempengaruhi respons yang dihasilkan. Respons yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.[14]
Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara harus memahami
hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang
mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang timbul akibat respons
tersebut. Skinner juga mengemukakan dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat menjelaskan tingkah laku yang hanya menambah rumitnya
masalah, sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan.[15]
Penelitian Rifnon Zaini yang
berjudul “Studi Atas Pemikiran B.F. Skinner tentang Belajar”, memaparkan
kelebihan dari teori yang diajukan oleh Skinner ini adalah pendidik diarahkan
untuk menghargai setiap anak didiknya. Hal ini ditunjukkan dengan
dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan
lingkungan yang baik. Adapun kelemahan teori skinner ini adalah: pertama,
proses belajar itu dipandang dapat diamati secara langsung, padahal belajar
adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali
sebagian gejalanya. Kedua, proses belajar ini dipandang bersifat
otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti mesin dan robot. Padahal setiap
siswa memiliki selfregulation (kemampuan mengatur diri sendiri) dan self
control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa
menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau
berlawanan dengan kata hati. Ketiga, proses belajar manusia dianalogikan
dengan prilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat amat mencoloknya
perbedaan antara karakter fisik dan
psikis manusia dengan karakter fisik dan psikis hewan.
D. Penerapan
teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran
Teori belajar behavioristik
menekankan terbentuknya perilaku terlihat sebagai hasil belajar. Teori belajar
behavioristik dengan model hubungan stimulus respons, menekankan siswa yang
belajar sebagai individu yang pasif. Munculnya perilaku siswa yang kuat apabila
diberikan penguatan dan akan menghilang jika dikenai hukuman.[16]
Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap masalah belajar, karena
belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan untuk pembentukan hubungan antara
stimulus dan respons. Dengan memberikan rangsangan, siswa akan bereaksi dan
menanggapi rangsangan tersebut. Hubungan stimulus-respons menimbulkan
kebiasaan-kebiasaan otomatis belajar.
Dengan demikian kelakuan
anak terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus
tertentu.
Penerapan teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa komponen seperti: tujuan
pembelajaran, materi pelajaran, karakteristik siswa, media, fasilitas
pembelajaran, lingkungan, dan penguatan.[17]
Teori belajar behavioristik cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir.
Pandangan teori belajar behavioristik merupakan
proses pembentukan, yaitu membawa siswa untuk mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Pembelajaran
yang dirancang pada teori belajar behavioristik memandang pengetahuan adalah
objektif, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan kepada siswa. Oleh sebab itu siswa diharapkan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa
yang diterangkan oleh guru itulah yang harus dipahami oleh siswa.
Hal yang paling penting dalam teori
belajar behavioristik adalah masukan dan keluaran yang berupa respons. Menurut
teori ini, antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan diukur. Dengan demikian yang dapat diamati
hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan oleh
guru dan apa saja yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati dan
diukur yang bertujuan untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku. Faktor
lain yang penting dalam teori belajar behavioristik adalah faktor penguatan. Di
lihat dari pengertiannya penguatan adalah segala sesuatu yang dapat memperkuat
timbulnya respons. Pandangan behavioristik kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun siswa memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan behavioristik tidak dapat menjelaskan dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama. Di lihat dari
kemampuannya, kedua anak tersebut mempunyai perilaku dan tanggapan berbeda
dalam memahami suatu pelajaran. Oleh sebab itu teori belajar behavioristik
hanya mengakui adanya stimulus dan respons yang dapat diamati. Teori belajar
behavioristik tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang
mempertemukan unsur- unsur yang diamati.[18]
Teori belajar behavioristik
menekankan pada perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon, sedangkan belajar sebagai aktivitas yang menuntut siswa
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Berikut ini prinsip
dari teori belajar behavioristik, yaitu:[19]
1. Teori belajar behavioristik
beranggapan yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang
dikatakan telah belajar jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan
tingkah laku.
2. Teori ini beranggapan yang
terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, karena hal ini
yang dapat diamati, sedangkan apa yang terjadi dianggap tidak penting karena
tidak dapat diamati.
3. Penguatan, yakni apa saja yang dapat
menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar.
Pendidikan berupaya mengembangkan
perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Pendidik berupaya agar dapat memahami
peserta didik yang beranjak dewasa. Perkembangan perilaku merupakan objek
pengamatan dari aliran- aliran behaviorisme. Perilaku dapat berupa sikap,
ucapan, dan tindakan seseorang sehingga perilaku ini merupakan bagian dari
psikologi. Oleh sebab itu, psikologi pendidikan mengkaji masalah yang
memengaruhi perilaku orang ataupun kelompok dalam proses belajar.
IV.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu sebagai
berikut:
A. Menurut Watson tingkah laku manusia
merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan atau
situasional. Tingkah laku dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak
rasional.
B. Menurut Pavlov dengan teori
kondisioning klasik merujuk pada sejumlah prosedur pelatihan karena satu
stimulus dan rangsangan muncul untuk menggantikan stimulus lainnya dalam
mengembangkan suatu respon.
C. Selanjutnya, menurut Skinner belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Skinner mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
tetapi lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respons
terjadi melalui interaksi dengan lingkungan kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku.
D. Penerapan teori belajar behavioristik dalam pembelajaran, yaitu antara
stimulus dan respons dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan diukur. Dengan demikian yang dapat diamati hanyalah stimulus
dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan oleh guru dan apa saja
yang dihasilkan oleh siswa semuanya harus dapat diamati dan diukur yang bertujuan
untuk melihat terjadinya perubahan tingkah laku.
V.
REFERENSI
Achmad Pandu Setiawan.
2016. Aplikasi Teori Behavioristik dan Konstruktifistik dalam Kegiatan
Pembelajaran di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Agama Islam, November 06(02): 33-46.
Arifin, Muhammad Imam
Bustanul. 2017. Pengaruh Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dan
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Peserta Didik Smp
Al-Islam Gunungpati Semarang. Skripsi. Program Studi Teknologi Pendidikan,
FIP, UNNES.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dirman dan
Juarsih, C. 2014. Teori Belajar dan Prinsip-Prinsip Pembelajaran yang
Mendidik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ertikanto, Chandra. 2016. Teori
Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi.
Moulifatiha, et al. 2014. Attitude and
Motivations in Learning English as a Foreign Language. International
Journal of Arts & Sciences, 07(03): 117-128.
Mukinan. 1997. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Nahar, Novi Irwan. 2016. Penerapan
Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, Vol. 1 Desember: 64-74.
Nasution. 2006. Asas-Asas
Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Peel, Dave. 2005. The
significance of behavioural learning theory to the development of effective
coaching practice. International Journal of Evidence Based Coaching and
Mentoring, 03(01): 18-28.
Putrayasa, Ida Bagus. 2013. Landasan
Pembelajaran. Bali: Undiksha Press.
Schunk, Dale H. 2012. Learning
Theories An Educational Perspective. The University of North Carolina at
Greensboro: Pearson.
S.M, Ismail. 2010. Strategi
Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: RaSAIL Media Group.
Sugandi, Ahmad. 2007. Teori
Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.
Zaini, Rifnon. 2014. Studi Atas Pemikiran B.F.
Skinner Tentang Belajar. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, 01(01):
118-129.
Zulhammi. 2015. Teori Belajar
Behavioristik dan Humanistik dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal
Darul Ilmi, 03(01): 105-127.
[1] Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis
PAIKEM, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 10.
[2] Moulifatiha
et al., Attitude and Motivations in Learning English as a Foreign
Language, (International Journal of Arts & Sciences: 07 (03), 2014),
hlm. 125.
[3] Arifin,
M. I. B., Pengaruh Penerapan Teori Belajar Behavioristik dan Prinsip-Prinsip
Pembelajaran terhadap Motivasi Belajar Peserta Didik SMP Al-Islam Gunungpati
Semarang, Skripsi (Program Studi Teknologi Pendidikan, FIP, UNNES, 2017), hlm.
103.
[4] Desmita, Psikologi
Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). hlm.44.
[5] Nahar, Novi
Irwan, Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran, Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial: Vol. 1 Desember 2016), hlm.68.
[6] Putrayasa, Ida Bagus, Landasan Pembelajaran, (Bali: Undiksha
Press, 2013), hlm. 46.
[7] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 55.
[8] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 56.
[9] Zulhammi, Teori
Belajar Behavioristik dan Humanistik dalam Perspektif Pendidikan Islam, (Jurnal
Darul Ilmi, Vol. 3 No. 1, 2015) hlm. 119.
[10] Schunk, Dale H, Learning Theories An Educational Perspective,
(The University of North Carolina at Greensboro: Pearson, 2012), hlm. 88.
[11] Desmita, Psikologi
Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 57.
[12] Dirman dan Juarsih, C., Teori Belajar dan
Prinsip-Prinsip Pembelajaran yang Mendidik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014),
hlm. 15.
[13] Ertikanto, Chandra, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
Media Akademi, 2016), hlm. 7-8.
[14] Nahar, Novi Irwan, Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam
Proses Pembelajaran, Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial: Vol. 1 Desember 2016),
hlm.71.
[15] Putrayasa, Ida Bagus, Landasan Pembelajaran, (Bali: Undiksha
Press, 2013), hlm. 48.
[16] Nasution, Asas-Asas
Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm.66.
[17] Sugandi, Ahmad,
Teori Pembelajaran, (Semarang: UPT MKK UNNES, 2007), hlm. 35.
[18] Putrayasa, Ida Bagus, Landasan Pembelajaran, (Bali: Undiksha
Press, 2013), hlm. 49.
[19] Mukinan, Teori
Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: P3G IKIP, 1997), hlm. 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar